RESUME MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN
MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun
kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya
keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang
mereka anut.
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan
kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan
tertentu. Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik
(Azyumardi Azra, 2007)
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang
terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan
sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk
organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan, yang dikutip dari Azra, 2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian
atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174). Sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006,
Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan,
penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi
etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan
semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar). xisting homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk
bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking
countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999 Kebijakan ini kemudian diadopsi
oleh sebagian besar anggota Uni
Eropa, sebagai
kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan,
sejumlah negara Eropa, terSejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad
ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat
digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-eutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke
arah kebijakan multikulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai
menjadi subyek debat di Britania
Raya dan Jerman, dan beberapa negara lainnya
Jenis Multikulturalisme Berbagai macam pengertian dan
kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang
diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185)
membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
- Multikulturalisme isolasioat
ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang
kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
- Multikulturalisme otonomis,
masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha
mewujudkan kesetaraan (equality)
dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan nis, mengacu pada
masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara
otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
- Multikulturalisme akomodatif,
yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.
Masyarakotonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup
mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka
menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
- Multikulturalisme kritikal atau
interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural
tidak terlalu terfokus (concern)
dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif
mereka.
- Multikulturalisme kosmopolitan,
berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan
sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya
tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan
interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural
masing-masing.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman
tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal
masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka
konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna
yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti
apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup
menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang
mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap
masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri
khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak
definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007).
Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai
multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme
adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk
saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat.
Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa
membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Memahami Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian
seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang
secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang
peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan
yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik
merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri
dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti
proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan
multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural
berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas
dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan
aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas
dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau
proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar
luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman
etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana
tentang pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan
sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas
sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan
respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural
itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti
gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar
mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi
diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti
(difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan
multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama,
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha
meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu,
pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang
sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua,
pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi,
potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan
budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur
kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan
terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi
politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga,
pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan
heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang
ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku,
akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma,
keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak
memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya
menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut
tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat,
pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku
dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat
urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi,
informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak
mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian,
privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak
relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat
masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
"indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar
dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan
mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan(empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadventaged.
URGENSI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan
yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat
dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional.
Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif,
establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau
inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan
yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya
pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan
terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran
teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut,
menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap
fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang
paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan
bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua
segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis),
moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis
dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan
pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar
kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh.
Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang
akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilan ganetnis, ketidakadilan,
kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan
multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis
mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada
pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Pendidikan multikultural secara
inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia
adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
- Pendidikan multikultural
memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat
yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan
ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut
masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya
berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu
penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang
dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif
intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal
kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari
ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga
terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris.
Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas
agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
- Pendidikan multikultural
menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan
oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata,
melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang
sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard
Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah
kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan
yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan
dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam,
kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika
ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi
bisnis.
- Pendidikan multikultural
sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan
muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk
melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis,
dan pluralis di lingkungan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar