PENTINGNYA
PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DAN IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan yang
sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta
didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim,
surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran
teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju
surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak
toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan
reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman
keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural,
humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.
Pradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan
cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan
dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk
kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir
kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif
berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya
melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman
keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan
rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun
kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang
nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Peran
Guru dan Sekolah dalam Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah
Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang
guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun
perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya
dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang
berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap
peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari
ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat
manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah
sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan
pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran),
misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di NTB tidak perlu
terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen
masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru, sekolah juga memegang peranan penting dalam
membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang
dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa saling pengertian
sejak didi antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan berbeda maka sekolah
harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan bimbingan guru-guru
dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya
yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang
berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan multikultural
yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di
sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar