Rabu, 26 Agustus 2020

 





PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DAN IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan yang sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.

Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.

Pradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah

Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di NTB tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik.

Selain guru, sekolah juga memegang peranan penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa saling pengertian sejak didi antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan berbeda maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah.


0 komentar:

Posting Komentar

Home - Recent Posts (show/hide)

show

BTemplates.com

blogger-disqus-facebook

Channel Youtube


Fixed Sidebar (true/false)

true

Popular Posts

Blog Archive