Pengantar
Risalah kecil ini disusun oleh tiga
lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yaitu LAKPESDAM, Lembaga Bahtsul
Masail dan Rabithah Maahidil
Islam Kota Malang dalam rangka Harlah NU ke-82.
Diantara kegiatan-kegiatan yang diadakan
pengurus NU Kota Malang, PC NU Kota Malang berupaya menerbitkan risalah ini
agar dijadikan pegangan dan bekal bagi para jamaahnya.
Risalah ini memuat berbagai dalil amaliah
yang selama ini sudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan social
sehari-hari. Para Ulama dahulu dengan segala kearifannya, lebih menekankan amal
dari ilmu dari setiap amaliah sehari-hari. Ketika zaman telah berubah dimana
gempuran kaum wahabi bertubi-tubi dari berbagai penjuru, mereka meracuni
nahdliyin dengan berbagai pernyataan bahwa setiap amaliah yang telah dilakukan
orang NU tidak berdasar dan bid’ah. Bahkan di daerah Jawa Tengah kelompok Wahabi dengan menggunakan
baju Majelis Qiraah al Quran,
membayar beberapa stasiun radio agar mempropagandakan bahwa amaliyah NU itu
sesat dan bid’ah setiap pagi dan sore.
Apa yang dilakukan PCNU Kota Malang ini
harus disambut baik, ditindaklanjuti dan disebarluaskan ke berbagai kalangan
Nahdliyin agar mereka tidak goyah dengan amaliyahnya sehari-hari.
Untuk mempermudah cara baca, sengaja
risalah ini dibuat dengan sistem tanya jawab.
Indeks
1.
Tahlil dan Dzikir Jamaah
2. Berdzikir, Berdoa dan Bersedekah untuk Mayat
3. Tawasul
4. ZIARAH KUBUR
5.
AL-Qur'an dan Shalat
Tahlil dan Dzikir Jamaah
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan?
Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi
hallala
yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud
adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di
kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa
Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran,
fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan
hukumnya?
Tetapi apakah ada aturan
berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ
رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ
عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka…
Di samping ayat disebutkan
diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir
berjama'ah adalah
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena
menggunakan sighat (konteks) jama'
(plural) yaitu yadzkuruna.
Menurut kyai NU jama'
berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam
ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang
disampaikan dalam bentuk jama'
harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman
al-Khumayyis, penulis makalah "Adz-Dzikr
al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida' (telah dibukukan dengan
judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat
(konteks) jama' dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum
dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu
wata'ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.
Selain itu jika sighat
(konteks) jama' dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan
dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam
memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah
bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan
berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?
Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai
perintah untuk dzikir
bersama-sama satu suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama' itu tidak selalu
bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak mungkin
dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang
berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat
menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum
bersenandung bersama sama dengan ucapan:
"HAAMIIIM LAA
YUNSHARUUN.."
(lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat
Khandaq).
Perlu anda ketahui bahwa sirah
Ibn Hisyam
adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku
sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi'in. Sehingga akurasi
sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat
membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul
akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah"
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun
segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
"Laa
'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..." (Sirah
Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)
Ucapan ini pun
merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai
makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan
berbaring ('ala junubihim). Tidakkah
anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah
shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas
Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع
فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم
وألسنتهم
Jadi ayat tersebut di atas lebih
dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum
dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir
kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan
bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua,
manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu
dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi
kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi
tubuhnya tidak memungkinkan.
Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul
saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri
sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa
Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya
dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu
syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa
ini.
Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat
jama' dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah?
Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama'ah berdoa, berdzikir, dengan sirran
wa jahran,
di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy
Allah swt berfirman :
إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي
نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
Bila ia (hambaKu) menyebut
namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut
namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka
dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).
Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi
panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya
menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia
pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni
mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di
mobil2, dan hampir di semua tempat,
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha
Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh
dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir
berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ
أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا
هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى
السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ
مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ
وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ
فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي
قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ
تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا
يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا
قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ
لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا
أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً
قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ
وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ
يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ
مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ
أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ
فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا
يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى
Sabda Rasulullah saw:
"Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan
menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka
berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia,
bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit,
dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana
kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa
padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada
Mu, dan meminta kepada Mu,
Maka Allah bertanya: "Apa
yg mereka minta", Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata:
apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata:
"Bagaimana bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta
perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?"
Malaikat berkata: "dari Api neraka", Allah berkata: "apakah
mereka telah melihat nerakaku?" Malaikat menjawab tidak, Allah berkata:
Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar
pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan
mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan
darinya, malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan
hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya
pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan
siapa siapa yg duduk bersama mereka
Berdzikir, Berdoa dan Bersedekah untuk
Mayat
Bagaimanakah hukum
berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa
erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh
seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa
itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir
untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang
sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada
kami." (QS.
Al-Hasyr)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu
saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para
sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan
dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam
ayat:
"Dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19)
Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan
supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur'an untuk orang yang telah
meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:
Dari Mu'aqqol ibn Yassar ra.: "barang
siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo
Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang
yang mati diantar kamu." (Al-Baihaqi, Jami'us Shogir: bab
Syu'abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)
Senada dengan itu, dalam hadits lain
Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi
si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di
dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:
"Ketika Rasulullah
selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda,
"mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan
mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi
pertanyaan."
(HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul
Maram: 115/604)
Bagaimana hukum bersedekah
untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Dalam islam, sedekah merupakan amalan
mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan.
Di dalam al-Qur'an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri
orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam
kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau
menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah
befirman:
"Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali- Imron: 133-134)
Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak
akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam
wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan.
Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala
berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap
ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin
orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang
dzalim.
"Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu
tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. A-Anfal : 60).
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga
dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah
SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya
yang telah meninggal dunia.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang
laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. "Sesungguhnya ibuku telah
meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah
baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?". Rasulullah SAW.
Bersabda,"ya". (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga
dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan
sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang
bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir
ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah
ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:
'Tatkala manusia meninggal
maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya." (HR. Muslim).
Apa hukum talqin
(pengajaran) kepada mayit?
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada
perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah)
kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
"Hendaklah kamu semua
mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa
Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)"
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru
dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi'i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan
sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat
At-Tabrani:
"Dari Abu Umamah ra.,
"Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah
diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu
berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan
nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab.
Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan
lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga
Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah "ingatlah apa yang kamu pertahankan
saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah
sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur'an
sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan
tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan
kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat
munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana
jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu
Hawa.
(HR. At-Thabrani)
Hadits tersebut marfu', sekalipun dhoif,
tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a'mal)
dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah
SWT:
"Dan tetaplah memberi
peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman."
(QS. Adz-Dzariyat: 55)
Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika
baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan,
sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok
sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu
Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, "Hadits-hadits yang menerangkan
bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah
sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat
mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:
"Sesungguhnya Nabi SAW.
Bersabda: "Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan
sandal-sandal kamu semua."
Sementara itu, dalam hadits yang lain
disebutkan:
"Sesungguhnya beliau
bersabda: "kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan
daripada mereka."
Tawasul
Apa arti tawasul dengan
walinya Allah?
Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya
menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam
mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka
miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang
dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat.
Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan
kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha
memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan
orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan
Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah
SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits
qudsi disebutkan:
ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا
أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى
يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه
Hambaku tidak henti-hentinya
mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku
mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia
mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya,
dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan
dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta
perlindungan, maka Aku berinya perlindungan." (HR. Imam al-Bukhori).
Apa hukum tawasul dengan
orang-orang yang dikasihi oleh Allah?
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai
Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan
ijma' ulama' kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang
diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.
Bagaimana halnya dengan
orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta
pelakunya adalah musyrik dan kafir?
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama'ah
yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu
menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan
batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian
umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma') atas perkara yang haram atau
kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah
mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat,
berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:
سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها
"Saya memohon kapada
Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia
mengabulkan permohonanku itu." (HR. Ahmad dan at-Thabrani).
لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا
"Allah tidak menghimpunkan
umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya." (HR.Imam al-Hakim).
ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن
"Apa yang diyakini baik
oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik."
Apakah ada dalil al-qur'an
tentang tawasul?
Ya, ada. Adapun ayat al-Qur'an yang
menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:
"Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya."
(QS. Al-Maidah: 35)
Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah (perantara), yaitu segala
sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan
kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya.
Apakah tawasul itu
terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?
Tidak, karena ayat Al-Qur'an tersebut
umum (‘amm) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih,
yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh
tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak
boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan
amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah
mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu
lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari
wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan.
Apabila kata "Ibtighoul wasilah" (mencari wasilah) kita
artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya
sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad "al-Wasilah" ditafsirkan dzat-dzat yang
ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan
lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal
perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan,
maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat
ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma'rifat dzat-dzat itu kepada Allah
SWT, allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa' : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan
dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah "Jaa-uuka" (mereka dating kepadamu) dan "Wastaghfaro
lahumurrosuulu"
(dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa
kalimat "Jaa-uuka".
Apakah tawasul itu
dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang
mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat
tersebut juga umum ('amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan
sesudah beliau wafat.
Telah dipastikan, bahwa para nabi dan
para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT.
Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka
menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian,
maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan
lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama'ah tidak meyakini
adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang
Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi
dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan
dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang
dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka
yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut
hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.
Adapun orang-orang yang masih hidup dan
orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa
orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang
lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil,
sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.
Apa tawasul dengan
orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?
Dalilnya sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya jikalau
mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Ayat di atas adalah umum ('amm) mencakup pengertian ketika
beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam
kitab Zadul ma'ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين
عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة
وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي
ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له
وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.
"Dari Abu Sa'id
al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: "seseorang dari rumahnya
hendak sholat dan membaca do'a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي
هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء
سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر
الذنوب إلاّ أنت
Kecuali Allah menugaskan
70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran
tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat". (HR. Ibnu
Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan
al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar
menunaikan shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين....إلخ
Para ulama; berkata, "ini adalah
tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah
mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini.
Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak
pegi sholat."
Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah,
at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة
بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه
وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة
بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم
الراحمين
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata,
"ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka
sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
"Allah
adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati.
Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur
dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul
sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang."
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau
yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
"Dengan hak para nabi
sebelumku".
Jika tawasul dengan
orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob
tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?
Para ulama' telah menjelaskan hal ini
juga, mereka berkata:
"Adapun tawasul Umar bin al-Khottob
dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah
meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi
SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu
boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan
sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait
Rasulullah SAW.
Apa dalilnya?
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat.
Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau
wafat.
Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi
dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
"Sesungguhnya orang-orang pada masa
kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan.
Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata:
"Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah
binasa." Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan
berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan
kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada
kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang
dituruni hujan."
Di mana letak penggunaan dalil hadits
tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin
Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar
maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah
hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة
رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى
إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب
وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة
"Sesungguhnya penduduk
Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu
kepada Aisyah ra dan ia berkata: "lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW
lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara
kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka
melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras,
hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk."
Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik
dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh,
baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah
berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul
terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
dari Umar bin al-Khottob:
"Ketika Nabi Adam
terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
"Hai Tuhanku, aku memohon
kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku."
Allah berfirman:
"Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?"
Nabi Adam berkata: "Hai
Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku
mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La
ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak
menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai."
Kemudian Allah berfirman:
"Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai.
Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan
andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu." (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan
al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula
tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur,
yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan
berdo'a atau menghadap Nabi SAW?"
Imam Malik berkata kepada kholifah,
"Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau
adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT.
Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan
memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta."
Allah befirman:
"Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli
‘Iyadl dalam kitab as-Syifa'.
Bagaimana cara tawasul?
Para ulama telah menerangkan, bahwa
tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan
hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
§ Memohon
(berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو
أتوجّه به إليك في كذا....
"Ya Allah, saya memohon
kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas
Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk..."
§ Meminta
kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar
terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو...
"Ya Rasulullah,
mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau..."
§ Meminta
sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya
hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng
dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama
dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan
nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara
yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama
adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
"Dari Autsman bin Hunaif ra:
Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra
datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasululah, berdo'alah kepada Allah
agar menyembuhkan saya."
Beliau bersabda, "Jika engkau mau,
berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu
(sabar) lebih baik untuk kamu."
Laki-laki itu berkata: "berdo'alah
untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan
(merepotkan)ku."
Kemudian Nabi SAW memerintahkan si
laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam
hadits yang arti doa itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa
rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku
dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah
beliau dalam urusanku."
Si laki-laki itu melakukan apa yang
diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat."
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak
berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan
kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau
dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau.
Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta
bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan
pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi
umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah
wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan
hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu
ushul.
Apa dalil tawasul dengan
cara kedua?
Dalilnya banyak, diantaranya:
"Dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah
pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung
menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak:
"Hai Rasulullah, harta
benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah
supaya menghujani kami.
Rasulullah SAW.lalu mengangkat
tangan dan berdo'a, "Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.
Anas berkata: "Demi Allah
kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari
berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau
orang lainnya datang dan berkata: "Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan
jalan-jalan terputus.
"Kemudian Beliau berdoa:
"Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita," kemudian
awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits yang shahih ini ada
petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada
Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang
yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat
hamba-hambanya.
Disamping itu, karena manusia ketika
melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang
tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada
Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga
kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya
karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa
kecuali ta'at kepada-Nya.
Apa dalil tawasul yang
ketiga?
Dalilnya banyak antara lain:
Dari Rabi'ah bin Malik
al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: "Mintalah apa saja
yang kamu inginkan." Saya berkata: "Saya memohon kepada-Mu dapat
bersama-Mu di surga." Beliau bersabda: "Selain itu?" Saya
berkata: "Hanya itu." Kemudian beliau bersabda: "Bantulah saya
untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud." (HR. Imam Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد
فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن
يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت
Sesungguhnya Qotadah bin
Nu'man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya,
lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: "mataku Ya Rasulullah."
Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau
berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya
melalui doa. Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula
dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula."
ZIARAH KUBUR
Awalnya
ziarah kubur adalah perbuatan terlarang, karena para shahabat nabi masih baru
saja meninggalkan era penyembahan berhala. Namun sedikit demi sedikit,
Rasulullah SAW memandang bahwa sudah tidak ada alasan lagi untuk melarang
ziarah kubur, karena para shahabat nabi telah memilihi pondasi aqidah yang
sangat kokoh.
Maka beliau
pun bersabda:
عن بُرَيْدَة قَالَ: قَالَ رسول الله كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها رواه مسلم وفي رواية:
فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا
تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ
Dari
Buraidah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku larang kalian untuk
berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah." (HR Musim)
Dalam
riwayat yang lain beliau menyebutkan:
"Siapa
yang ingin berziarah kubur, hendaklah berziarah. Karena berziarah kubur itu
mengingatkan akhirat."
Maka hukum
ziarah kubur pun menjadi boleh setelah dahulu pernah dilarang. Setidaknya ada
dua manfaat utama saat kita berziarah kubur.
Manfaat
pertama, kita dapat mendoakan orang yang ada di kubur itu. Dan imbasnya adalah
doa kita itu akan diganjar dengan pahala yang banyak.
Manfaat
kedua, kita jadi dapat mengambil pelajaran bahwa suatu ketika kita pun akan
mati juga, dan akan dikubur juga.
Selain itu
juga ada manfaat lainnya, bila kubur yang diziarahi itu merupakan kubur tokoh
ulama. Misalnya, kita jadi termotivasi untuk mempelajari sejarah dan jalan
hidupnya, serta dapat mengenang jasa-jasa mereka.
Di jantung kota Cairo
ada kubur Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Bagi turis Indonesia yang melawat ke negeri
Piramid itu, ziarah ke kubur Al-Imam Asy-Syafi'i sebenarnya dapat membangkitkan
kita mengenal lebih dekat sosok Imam Mazhab itu. Dan rupanya di negeri itu
terdapat begitu banyak situs peninggalan bersejarah yang menarik untuk diamati.
Sayangnya,
sebagian saudara-saudara kita agak buta sejarah, sehingga ketika datang ke
tempat yang punya nilai sejarah, sama sekali tidak nyambung alias tidak dapat
mengambil apapun pelajaran. Datang ke kubur para ulama akhirnya sekedar jadi
wisata rutin dan ritual, yang miskin dari kajian.
Dan
konyolnya, sebagian lainnya malah datang untuk minta ini dan minta itu kepada
ruh yang ada di kuburan. Tentu tindakan ini tidak bisa dibenarkan, karena
seharusnya kita hanya meminta kepada Allah SWT, bukan kepada kuburan, meski
kubur seorang ulama sekalipun.
Lucu
memang, bahkan di makam Al-Imam Asy-Syafi'i itu ada orang yang sampai bertawaf
mengelilingi kuburnya, seperti layaknya ka'bah. Tindakan ini tentu kurang bisa
diterima, karena tidak ada tuntunan dari agama ini tentang ritual tawaf
mengelilingi kuburan.
Adapun apa
yang dikatakan sebagai wahabi yang anti ziarah kubur, memang para tokoh mereka
di gurun pasir sana
sejak awal lebih suka menggeneralisir semua masalah yang terkait dengan
kuburan. Intinya, tidak ada cerita ziarah kubur, apalagi kubur ulama. Buat
mereka, pokoknya haram, titik.
Kita hanya
bisa geleng-geleng kepadakalau melihat kelakuan sebagian saudara kita itu.
Mungkin dengan berhuznudzdzan kita boleh bilang nbahwa tujuan mereka mungkin
baik, yaitu untuk melindungi umat Islam dari bahaya syirik.
Tapi pola gebyah
uyah seperti itu ibarat suasana panik akibat kebakaran di suatu kampung,
untuk menyelamatkan rumah dari amukan api, kadang rumah itu disemprot dengan
air dengan kekuatan penuh, akibatnya memang sih rumah itu tidak terbakar, tapi
malah roboh sekalian.
Tindakan
menggeneralisir semua ziarah kubur itu haram dan bid'ah, barangkali tepat kalau
dilakukan oleh seorang Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhabyang hidup di abad ke
delapan belas (1703-1791 M). Tapi suasana abad ke delapan belas tentu amat
berbeda dengan suasana abad ke dua puluh dan dua puluh satu.
Selain itu,
gaya dakwah yang sikat sana
tembak sini mungkin efektif untuk suasana masyarakat padang
pasir yang tidak pernah makan sekolahan, namun belum tentu gaya seperti itu bisa dengan mudah diterima
oleh bangsa lain yang punya peradaban.
Maka kalau
pun kita mau mengambil pelajaran dari siapa pun, kita harus lihat situasi dan
kondisi serta latar belakang sosio kultural dari suatu masyarakat. Apa yang
cocok di abad 18 belum tentu cocok untuk abad 21. Dan apa yang dirasa efektif
untuk para penghuni gurun belum tentu cocok buat para penduduk nusantara. Maka
ambillah pelajaran wahai orang yang bisa mengambil pelajaran.
Alih-alih
diterima, dakwah wahabiyah di mana-mana hanya memanen perlawanan dan permusuhan
serta kebencian. Dan orang-orang yang ziarah kubur tetap masih banyak, bahkan
sampai yang masih menyembah kuburan. Sebab dakwah yang tidak simpatik hanya
akan membuat orang malah semakin jauh dan anti pati.
Lalu apa
solusinya?
Gampang,
mereka yang kerjanya ziarah kubur itu kita beri beasiswa agar bisa pada
sekolah. Kebodohan lah yang telah mengantarkan mereka untuk menyembah kuburan.
Karena itu bukan kuburannya kita ratakan dengan tanah, tapi kebodohannya yang
harus diperangi. Caranyadengan mendirikan ribuan sekolah dan kampus di negeri
ini, bukan masjid yang bangunannnya megah tapi tidak ada ulamanya.
Apa hukum ziarah kubur?
Ziarah ke kuburan untuk orang laki-laki
sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada permulaan islam ziarah ke kubur memang
dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh dengan sabda Nabi SAW dan
perbuatannya.
Ada beberapa hadits berkaitan dengan
ziarah kuburan, antara lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
"Dulu saya telah melarang
kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan)." (HR. imam Muslim)
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها ترق
القلب وتدمع العين وتذكر الأخرة
"Dulu saya telah melarang
kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan, sebab
ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan
akhirat."
Para ulama menjelaskan bahwa
ziarah ke kuburan itu termasuk hal yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW dan para
sahabat beliau juga melakukannya. Semasa beliau belum wafat, Nabi SAW juga
mengajarkan kepada sahabatnya tata cara ziarah kubur, ntuk mengingat dan
mengambil pelajaran. Sampai saat ini ziarah kubur itu masih berlaku di berbagai
daerah, kota
dan pedesaan.
Apa hukum ziarah kubur
bagi kaum wanita?
Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi
wanita itu makaruh hukumya, karena dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat
kaum wanita gampang susah dan jarang yang bias menahan sabar terhadap musibah,
terkecuali ziarah ke kuburan para wali, orang-orang sholeh dan lama. Mereka
tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah. Sebagian ulama membolehkan kaum
wanita berziarah ke kubur secara mutlak, berdasarkan hadits Nabi SAW:
أنه صلى الله عليه وسلّم رأى امرأة بمقبرة تبكي
على قبر ابنها فقال لها اتقى الله واصبري
"Sesungguhnya Nabi SAW
melihat seorang wanita di atas kuburan dengan menangis diatas kuburan anaknya,
kemudian beliau bersabda kepadanya: "Takutlah kepada Allah dan bersabarlah".
HR.
Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh
wanita agar bersabar dan tidak mengingkarinya ziarah kubur.
السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين
ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين وإنّا إن شاء الله بكم لاحقون
"Sesungguhnya Nabi SAW
mengajarkan Aisyah do'a ketika berziarah ke kuburan beliau bersabda:
"ucapkan:
Bagaimana halnya dengan
sabda Nabi SAW Allah melaknat wanita wanta peziarah kubur?
Menurut ulama ahli
tahqiq,
hadits tersebut ditakwil, jika ziarah wanita-wanita itu untuk meratapi dan
menangisi yang meninggal, seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah, maka
ziarah kubur seperti itu jelas haram berdasarkan ijma'. Apabila bersih dari
hal-hal tersebut maka tidak diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits
tersebut.
Apa hukum melakukan
perjalanan ziarah ke makan Rasulullah SAW, makam para Nabi dan para wali?
Ziarah ke makam Rasulullah SAW, merupakan
salah satu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga
perjalanan menuju ke tempat beliau dan juga ke tempat-tempat para Nabi, para
wali dan para syuhada' untuk mendapatkan barokah dari Allah dan mengambil
I'tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab dan banyak faedahnya. Yang
terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara) menurut syari'at.
Apa dalil kesunahan
perjalanan ziarah itu?
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa
Nabi SAW tetap hidup di dalam kuburannya. Dengan demikian, berarti ziarah
kepada beliau sesudah wafat seperti ziarah kepada beliau saat hidup. Dasarnya
adalah hadits:
من حجّ فزار قبري بعد وفاتى فكأنما زارني في حياتي
"Barangsiapa menunaiakan
ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku sesudah aku wafat, maka ia seperti ziarah
kepadaku sewaktu aku dalam keadaan hidup." (HR. Thabrani).
من حج لم يزرني فقد جفاني
"Barangsiapa menunaikan
ibadah haji dan enggan berziarah kepadaku, ia benar-benar juh."
AL-Qur'an dan Shalat
Salah satu bentuk
pengagungan al-qur'an adalah larangan menyentuhnya apabila tidak suci (hadats).
Apakah dalil para ulama' terhadap hukum ini?
Larangan berasal dari firman Allah SWT:
"Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. Yamg diturunkan dari Tuhan semesta
alam."
(QS. Al-Waqi'ah: 79-80).
Atas dasar ini para ulama menyatakan
bahwa haram hukumnya menyentuh Al-Qur'an bila tidak punya wudlu.
Syaikh Zainudddin al-Malibari menyatakan:
"Haram sebab hadats kecil,
melakukan sholat, thawaf, sujud (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawa
mushaf dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur'an, walaupun hanya
sebagian ayat." (fath
al-Mu'in, hal 10).
Apakah menyentuh lain
jenis dapat membatalkan wudlu?
Menurut pendapat Imam Syafi'I ra,
menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu membatalkan wudlu, baik yang
menyentuh atau orang yang disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
al-Fath al-Manhaji:
"Seorang lak-laki yang
menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyah (yang bukan mahramnya) tanpa
penghalang maka wudlu laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud
dengan ajnabiyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal
dinikahi." (al-Fiqh
al-Manhaji, juz I, hal 63).
Pendapat ini didasarkan firman Allah
SWT.: "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci)". (QS. An-Nisa' : 43).
Bagaimana hukum
mengucapkan niat (lafal usholli dan seterusnya) ketika hendak melakukan sholat?
Niat merupakan inti dari setiap
pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW.:
"Segala perbuatan hanyalah
tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang
diniatkan." (Shohih
al-Bukhori, no 1).
Demikian juga dalam sholat. Niat adalah
rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka
disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati
(niat).
Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam
kitabnya Nihayah al-Muhtaj mengatakan:
"Disunnahkan mengucapkan
apa yang diniati (kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias
membantu hati, sehingga bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat
bisikan syetan). Dan agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.
Dalam beberapa kessempatan Nabi SAW
pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits
dijelaskan:
عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا
"Dari sahabat Anas ra
berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji." (Shahih Muslim, no 2168).
Ketika melakukan ruku' dan
sujud, disunahkan membaca tasbih (kalimat subhanallah).
Hanya saja banyak orang yang menambah
dengan tahmid (yaitu bacaan wa bihamdihi). Bagaimana hukum menambah bacaan
tahmid tersebut?
Membaca tasbih ketika ruku' dan sujud
memang sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW dalam shalat. Banyak hadits
beliau yang menerangkan hal tersebut. Antara lain hadits beliau yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah ra:
عن عائشة رضي الله عنها قالت أنّ رسول الله صلى
الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبّوح قدّوس ربّ الملائكة والروح.
"Diriwayatkan dari
‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah membaca subbuh quddus rab
al-malaikat wa al-ruh ketika ruku' dan sujud." (Musnad Ahmad bin Hambal, no
24877)
Dalam hadits lain disebutkan:
"Diriwayatkan dari
Hudzaifah ra, beliau berkata, "aku pernah shalat bersama Nabi SAW. Lalu
beliau membaca subhana robbiyal adzimi dalam ruku'nya. Dan ketka sujud membaca
subhana rab al-a'la. Dan setiap beliau membaca ayat rahmat, Nabi SAW diam lalu
berdo'a (agar rahmat tersebut diberikan kepadanya), sedangkan pada saat membaca
ayat tentang siksa Allah SWT (adzab) beliau selalu memohon perlindungan kepada
Allah SWT." (Sunan
al-Darimi, no 1273).
Kedua hadits ini tidak menyebutkan
kata-kata wabihamdihi.
Apakah lalu membaca wabihamdihi termasuk bid'ah. Karena tidak
pernah dilakukan Rasulullah SAW? Tentu saja tidak, sebab dalam hadits lain
disebutkan:
"Rabi' bin Nafi'
menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Amir ra, beliau berkata: Bertasbihlah
kamu kepada Tuhanmu Yang Maha Agung," Rasulullah SAW lalu bersabda,
"Jadikanlah bacaan itu dalam setiap ruku'mu." Manakala turun ayat
"Bertasbihlah kepada Tuhanmu Yang Maha Tinggi," Rasulullah kemudian
bersabda, kerjakanlah perintah itu dalam setiap sujudmu." (ada riwayat
lain) bahwa ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra dengan kandungan yang sama, beliau berkata
bahwa Rasulullah SAW kalau ruku' beiau mengucapkan subhana robbi al- adzimi wa
bihamdihi tiga kali." (Sunan Abi Dawud, no 736).
Dari sini menjadi jelas bahwa Rasulullah
SAW juga menambahkan wabihamdihi di dalam ruku' dan sujudnya.
Bagaimana hukum membaca
basmalah (bismillahirrohmaanirrohiim) dalam surat al-Fatihah ketika sholat? Dan kalau
wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?
Membaca surat al-Fatihah merupakan rukun sholat, baik
dalam sholat fardlu maupun shalat sunnah, hal ini didasarkan pada hadits Nabi
SAW:
عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه
وسلّم لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
"Dari ‘Ubadah bin
as-Sholit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah sholat seseorang
yang tidak membaca surat
al-Fatihah". (Shohih Muslim, no 595).
Sementara basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka
tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca basmalah
berdasarkan firman Allah SWT.:
"Dan Sesungguhnya Kami
telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang[814] dan Al Quran
yang agung."
(QS. Al-Hijr: 87).
Yang dimaksud tujuh yang berulang-ulang
adalah surat
al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat-ayat yang dibaca secara
berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah
basmalah.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Dari Abi Hurairah beliau
berkata, Rasulullah SAW bersabda, "al-hadulillahi robbil ‘alamiin
merupakan induk al-Qur'an, pokoknya al-Kitab serta surat al-Sab'u al-Matsani." (Sunan Abi Dawud, no 1245).
Berdasarkan dalil ini, imam Syafi'I ra
mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah, jika
ditinggalkan baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka'at shalatnya tidak sah.
Bagaimana hukumnya
melafalkan sayyidina ketika membaca Tasyahud?
Kata-kata sayyidina sering kali digunakan
oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk
hal yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada
Nabi SAW. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
"Yang lebih utama adalah
mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan
menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi
SAW)."
(Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156).
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi
SAW:
عن ابي هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه
وسلّم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأوّل من ينشق منه القبر وأوّل شافع وأوّل مشفع
"Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Saya gusti (penghulu)
anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kuburan, orang yang
pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk
memberikan syafa'at." (Shohih Muslim, no 4223).
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW
menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid
hanya di hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di
dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid
Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj
al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nadzariyat wa al-Tatthbiq:
"Kata Sayyidina ini tidak
hanya tertentu untuk NAbi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang
dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits. "Saya adalah
sayyid-nya anak cucu Adam di hari kiamat. Tapi Nabi SAW menjadi sayyid
keturunan Adam di dunia dan akhirat". (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush
bain al- Nadzoriyat wa Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW
membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu,.
Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati
sepanjang masa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina katika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad
SAW bole-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahud di dalam
shalat.
Ada sebagian kalangan yang beranggapan
kalangan yang beranggapan bahwa qunut subuh tidak sunnah.
Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah
SAW tidak melakukannya. Bagaimanakah sebenarnya hokum membaca qunut dalam
shalat subuh? Apakah benar Rsulullah tidak melakukannya?
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum
membaca qunut pada sholat shubuh termasuh sunnah ab'ad. Sebagaimana dikatakan oleh
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majnu':
"Dalam madzhab kita
(madzhab Syafi'i) disunnahkan membaca qunut dalam sholat shubuh, baik ada bala'
(cobaan, bencana, adzhab dll) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama'
salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
al-Khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abbas dan al-Barro' bin ‘Azib ra." (al-Maju',juz 1 hal 504).
Dalil yang bisa dijadikan acuan adalah
hadits Nabi SAW:
"Diriwayatakan dari
Anas bin Malik ra beliau berkata, "Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut
ketika sholat shubuh sehingga beliau wafat." (Musnad Ahmad bin Hambal, no
12196).
Sedangkan do'a
qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW adalah:
اللهمّ اهدنا فيمن هديت، وعافنا فيمن عافيت،
وتولّنا فيمن تولّيت، وبارك لنا فيما أعطيت، وقنا شرّ ما قضيت، فإنك تقضى ولايقضى
عليك، وإنه لايذلّ من واليت، ولايعزّ من عاديت، تباركت ربنا وتعاليت، فلك الحمد
على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك
"Ya Allah berilah kami petunjuk
seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan
seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan
sebagaimana orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada
segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segaa
kejahatan yang Engkau pastikan. Sesunggunya Engkau Dzat Yang Maha Menentukan
dan Egkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi.
Dan tidak akan mulia orang yang Kamu musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur.
Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampunan dan
bertaubat kepada-Mu."
Dengan demikian membaca qunut shubuh
dalam segala keadaan itu hukumnya sunnah. Karena Nabi Besar Muhammad SAW selalu
melakukannya hingga beliau wafat.
Dalam tahiyat ketika
membaca illallah, biasanya orang yang sholat mengangkat jari telunjuknya.
Adakah dasar hukumnya? Lalu apa hikmah yang dikandung?
Ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk
meletakkan kedua tangn diatas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara
jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari-jari telunjuk dan ketika membaca
illallah jari telunjuk tersebut sunnah diangkat
tanpa digerak-gerakkan, dalam sebuah hadits dijelaskan:
"Diriwayatkan dari Ali
bin Abdirrohman al-Mu'awi, beliau bercerita bahwa pada suatu saat Ibnu Umar ra
melihat saya sedang mempermainkan kerikil ketika shoat. Ketika saya selesai
shalat, beliau menegur saya lalu berkata, "(Apabila kamu sholat) maka
kerjakan sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW (dalam shalatnya). Ibnu
Umar berkata, "Apabila Nabi Muhammad SAW duduk ketika melaksanakan sholat,
beliau meletakkan telapak tangan kanannya dan menggenggam semua jarinya.
Kemudian berisyarah dengan (menganggkat) jari telunjukknya (ketika mengucapkan
illallah), dan meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya". (Shahih Muslim, no 193).
Hadits inilah yang dijadikan dasar para
ulama tentang kesunahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud. Sedangkan
dari hikmah tersebut adalah supaya kita meng-esakan Allah SWT. Seluruh tubuh
kita men-tauhidkan-Nya dipandu oleh jari telunjuk itu.
Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya mendendangkan sebuah syair:
وعند إلا الله فالمهملة (*) إرفع لتوحيد الذي
صلّيت له
"Ketika mengucapkan
illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau
sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).
Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika
tasyahud itu disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan
itu dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.
Salah satu kebiasaan yang
sering kita lihat, setiap selesai dalam shalat, orang-orang mengusap wajah
dengan tangan kanannya. Bagaimana hukumnya?
Setelah berdoa Rasulullullah SAW selalu
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن السائب بن يزيد عن أبيه أنّ النبي صلّى الله
عليه وسلّم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده
"Dari Sa'ib bin Zayid
dari ayahnya, "Apabila Rasulullah SAW berdoa beliau selalu mengangkat
kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangnnya." (Sunan Abu Dawud, no 1275).
Begitu pula orang yang telah selesai
melaksanakan shalat, ia juga disunahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Sebab sholat secara bahasa berarti berdoa, karena didalamnya terkandung doa-doa
kepada Allah SWT sang Kholik. Sehingga oaring yang mengerjakan sholat juga
sedang berdoa. Maka wajar jika setelah sholat ia juga disunahkan mengusap muka.
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW selalu mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang
beliau baca setelah salam:
عن عِمران بن حُصَين رضي الله عنه أنّ رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنبك
أى: لاتقطعون ذِكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
"Kami meriwayatkan
(hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni dari sahabat Anas ra bahwa Rasulullah SAW
apabila setelah selesai melaksanakan sholat beliau mengusap wajahnya dengan
tangan kanannya.. lalu berdoa, "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia
Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kebingungan
dan kesusahan." (al-Adzkar,
hal 69).
Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka
setelah sholat memang dianjurkan dalam agama. Karena Nabi Muhammad SAW juga
mengusap muka setelah shalat.
Sudah berlaku di masyarakat,
setiap selesai sholat, satu jamaah dengan yang lainnya saling bersalaman. Itu
dilaksanakan pada sholat yang lima
waktu. Adakah dasar ukumnya?
Bersalaman antar sesama muslim memang
sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan islam
semakin kuat dan persatuan umat islam semakin kokoh.
Salah satu bentuknya adalah
anjuran untuk bersalaman apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang
dating dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka
disunahkan berangkulan (mu'anaqoh). Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW
bbersabda:
"Diriwayatkan dari
al-Barro' bin ‘Azib, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda "Tidakkah
dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduannya bersalaman, kecuali diampuni
dosanya sebelum mereka berpisah." (Sunan ibn Majah, no 3693).
Berdasarkan hadits inilah ulama'
Syafi'iyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun
perbuatan itu dikatakan bid'ah, tetapi termasuk dalam kategori bid'ah mubahah.
Imam Nawawi menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk
dilakukan.
"(Soal) apakah berjabat
tangan setekah sholat Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan ataukah tidak?
(jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan ketiak bertemu. Adapun orang-orang
yang mengkhususkan diri untuk melakukannya setelah dua sholat itu (Ashar dan
Shubuh) maka dianggap bid'ah mubahah. (pendapat yang dipilih), sesungguhnya
kalua seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum sholat, maka berjabat tnagn
tersebut adalah bid'ah mubahah sebagaimana diatas. Tapi jika sebelumnya belum
pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena seperti itu (dianggap) baru
bertemu." (Fatwa al-Imam al-Nawawi, hal 61).
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa
orang yang sholat itu sama dengan orang yag ghoib (tidak ada ditempat
karena berpergian atau yang lainnya). Setelah sholat ia seakan akan baru datang
dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika tu dianjurkan untuk
berjabat tangan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsydin:
"Bersalaman itu termasuk
bid'ah yang muah, dan Imam al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi
hendaknya di tafshil (diperinci), antara orang yang sebelum sholat sudah
bertemu, maka salaman itu hukumnya ubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak
bersama (tidak bertemu) maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam). Karena
salaman itu disunahkan ketika bertemu menurut ujma' ulama'. Sebagian ulama
berpendapat bahwa orang-orang yang sholat seperti orang-orang yang ghoib (tidak
ada/tidak bertemu). Maka baginya disunahkan bersalaman setiap selesai sholat lima waktu secara mutlak
(baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak)." Bughyah al-Mustarsyidin, hal
50-51).
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah selesai
sholat adalah boleh bahkan sunnah
jika sebelum sholat memang belum pernah bertemu.
Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya
Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah),
lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para
sahabat dan ulama.
Ada beberapa
pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa
shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan
20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada
pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36
raka’at.
Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada
sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat
malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap
keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat
Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.
Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di
luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar
mereka adalah hadits Nabi SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي
”Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam
ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat
tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at
karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai
pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan
ibadah Thawaf.
Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at
bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau
shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11
rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama
sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana
Hadits Nabi SAW.:
أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ
اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ,
وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ
المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي
بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ
بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان
“Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga
tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di
masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka
menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan
Muslim).
Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11
raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang
jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di
masjid, bukan di rumah.
Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi
SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW.
Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan
orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka
Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.
Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat,
karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at
dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah".
Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang
disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat
malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri.
Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu
adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan
juga di luar bulan Ramadhan.
Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan
pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan
mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).
Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat
agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam
kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah
yang jumlahnya 20 raka’at:
وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ
وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .
“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di
bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di
malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu
diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan
satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul
Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).
Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat
tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi
jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11
raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah
bukan masalah aqidah tidak perlu dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.